Wednesday, October 10, 2012

Bahan Bakar GAS

Bahan Bakar Gas, Negara kita, Indonesia, kita di kelilingi ratusan gunung yang masih aktif, dimana gunung tersebut menyimpan gas alam yang bisa di pergunakan untuk bahan bakar. Kita sangat beruntung dengan sumbe daya alam seperti itu, Gas alam bisa di pergunakan untuk keperluan sehari-hari. Energi untuk listrik, Mobil, (kendaraan bermotor), Pabrik, bahkan untuk kebutuhan rumah tangga. SUmber Daya Gas yang kita miliki sangat melimpah, tetapi dalam pelaksaanaannya, sumber daya ini belum kita mamfaatkan dengan baik, kita masih mengandalkan listrik dan minyak bumi untuk kebutuhan sehari-hari, seperti yang kita ketahui, harga minyak semakin hari semakin menggila.

Biaya logistik yang tinggi dan buruknya infrastruktur merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan industri dalam negeri. Hingga saat ini infrastruktur serta sarana dan prasarana transportasi masih sangat minim.

Merespons kritik masyarakat akan ketergantungan Negeri ini terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM), Pemerintah kini serius mengalihkan BBM ke Bahan Bakar gas.
Selain lebih bersih, tidak polutif, penggunaan BBG (Bahan Bakar Gas) didukung cadangan gas Indonesia yang masih sangat besar. Pernyataan ini di tengah hiruk-pikuk isu kenaikan harga BBM bersubsidi dan Tarif Dasar listrik (TDL) disambut dingin. Pernyataan itu dilihat sebagai tebar pesona. Fakta, peran BBM pada pembangkit listrik PT PLN masih 27%. Dengan porsi sebesar ini, tarif listrik sangat sensitif terhadap kenaikan harga BBM. Setiap kenaikan harga BBM, biaya pengadaan listrik juga ikut terdongkrak.

Kenaikan TDL yang direncanakan sejak tahun lalu dan sejak 2004 belum pernah dinaikkan dan akhirnya dibatalkan atas desakan para pengusaha. Selama ini, kontribusi listrik terhadap biaya produksi garmen dan industri padat karya lainnya sekitar 25%. Bila TDL dinaikkan, dampak terhadap kenaikan harga barang mencapai 10-25%.
Tingginya biaya logistik di Indonesia merupakan masalah serius yang ikut membengkakkan biaya produksi. Di Malaysia, biaya logistik hanya 15% dan di Jepang 10%. Sedangkan di Indonesia, biaya logistik mencapai 25%. Mahalnya biaya logistik berkaitan erat dengan buruknya transportasi jalan raya dan pelabuhan. Angkutan mengonsumsi banyak BBM karena terlalu lama di perjalanan. Jika harga BBM dinaikkan, dampak terhadap kenaikan biaya logistik berkisar 11-20% karena komponen BBM dalam biaya transportasi mencapai 70%. Mulai April 2012, harga solar dan premium dinaikkan Rp 1.500 atau 33% menjadi Rp 6.000 per liter.

Sudah sekian dekade, kita membiarkan ketergantungan bangsa ini terhadap BBM. Bukan saja pada pembangkit listrik yang tak pernah lepas dari BBM.
Transportasi hampir 100% mengandalkan BBM. Mayoritas industri juga menggunakan BBM. Kekayaan alam yang begitu besar di bidang pertambangan belum dimanfaatkan. Gas dan batubara malah lebih banyak diekspor daripada digunakan untuk keperluan industri, transportasi, dan pembangkit listrik di dalam negeri.

Pangsa gas pada pembangkit listrik PLN baru 25%, batubara 31%, air 12%, dan geothermal 2%. Biaya produksi listrik menjadi lebih mahal lagi karena wilayah yang jauh dari sentra produksi BBM justru mengandalkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD)..

Sungguhpun begitu, kita juga harus fair bahwa masalah pembangkit adalah juga masalah pemerintah, khususnya Kementerian ESDM. Kebijakan direksi PLN tidak mungkin sukses jika tidak didukung pemerintah. Selama ini, pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang jelas dan tegas di bidang energi.

Sangat ironis melihat kenyataan betapa Singapura menikmati listrik bersih dan relatif murah karena gas dari Indonesia. Setiap hari, kapal tongkang dari Kalimantan dan Sumatera mengangkut batubara ke RRT dan sejumlah Negara, sebagian besar untuk pembangkit listrik. Murahnya biaya produksi di RRT juga berkat batubara dari Indonesia.

Walau kita mendorong keunggulan kompetitif kualitas sumber daya manusia dan penggunaan teknologi para pekerja, keunggulan komparatif masih dibutuhkan. Dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang masih besar, Indonesia perlu memanfaatkan comparative advantages yang ada, yakni tenaga kerja yang masih relatif murah dan energi yang cukup tersedia dengan harga yang juga relatif murah.

Penundaan kenaikan TDL adalah langkah positif untuk menjaga daya saing industri nasional meski pemerintah harus menambah subsidi listrik Rp 33 triliun menjadi Rp 98 triliun. DPR diharapkan tidak melakukan politisasi yang merugikan dunia usaha.
Kita memahami posisi pemerintah yang harus menjaga kondisi fiscal agar tetap kredibel. Kenaikan harga minyak mentah sudah mengerek subsidi BBM dari Rp 124 triliun menjadi Rp 190 triliun lebih. Jika tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi dan TDL tahun ini, defisit anggaran bisa mencapai 3,6% dari PDB, jauh di atas batas 3% yang dipatok UU.

Jika hanya TDL yang ditunda, defisit bujet bisa dijaga pada level 2,2%. Agar tidak terus-menerus mengulangi kejadian yang sama, komposisi pembangkit listrik harus digeser dari BBM ke pembangkit bertenaga gas, batubara, dan geotermal. Begitu banyak sumber energi geotermal di Tanah Air. Jika pemerintah serius dan PLN bekerja dengan sistematik, Indonesia takkan kesulitan menggunakan energi murah untuk pembangkit listrik, transporasi, dan industri.

Kebutuhan dana Rp 8,3 triliun oleh PLN untuk membeli gas perlu disuntikkan oleh pemerintah. Selain itu, perlu ada kebijakan yang tegas bahwa penjualan gas dan batubara diprioritaskan ke dalam negeri, termasuk untuk memenuhi kebutuhan PLN. Berbagai ironi yang mengiris hati harus diakhiri. Indonesia adalah lumbung energi, tapi rasio elektrifikasi —yakni penduduk yang mendapatkan listrik— baru 67%. Bandingkan dengan Malaysia dan RRT yang sudah 99,4%, Thailand 93%, dan Sri Langka 77%.

Peran serta swasta di bidang kelistrikan hendaknya tidak terbatas pada membangun pembangkit listrik, melainkan juga pada transmisi dan distribusi, khususnya di wilayah industri dan remote area. harga listrik akan mahal jika swasta harus menjual listriknya ke PLN, bukan langsung ke konsumen. Sebagai entitas bisnis, PLN pasti mencari untung. Karena itu, monopoli PLN perlu diredefinisikan agar swasta terangsang untuk masuk industri listrik.

Untuk menyediakan energi listrik dalam jumlah cukup, relatif murah, dan bersih, Langkah konkret harus segera diambil berdasarkan kebijakan energi yang lengkap dan jelas.